CERPEN

TIKET KERETA MALAM
Motor itu melaju kencang membelah kota jogja yang semakin padat. Suaranya tidak jauh beda dengan kaleng kosong yang dipukul. Asapnya mengepul tebal sehingga pengendara lain di belakang pasti akan sedikit menjaga jarak agar asap dari knalpot tidak langsung menghajar muka mereka. Bentuk motor sudah tidak karuan, setiap lampu merah pasti mesinnya mati. Begitulah kalau motor tidak di rawat, pasti sering rewel. Tetapi, walaupun jelek aku tetap bersyukur, karena temanku mau meminjamkan motornya itu. Hari itu memang aku ada keperluan mendadak, jadi agak ugal-ugalan di jalan. Sebelumnya, pagi sekitar jam delapan sebuah SMS masuk, bertuliskan : “Mas tiket keretanya sudah dibeli belum? Ibu nanti sore ke kota”. Ternyata dari ibuku, 5 hari yang lalu ia datang ke jogja untuk acara keluarga di kab Gunung Kidul. Ibu asli jogja, tapi selepas SPG dulu ia pergi merantau ke jakarta, kemudian bertemu bapak dan membina keluarga disana. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Sudah hampir 5 tahun aku kuliah di jogja. Setelah beberapa menit sampai juga di stasiun kelas ekonomi bernama lempuyangan. Aku disambut calo-calo tiket. “mau ke mana mas ? tiket murah ada tempat duduknya mas” ucap mereka agak memaksa. Tak peduli ku terus melangkah maju, mereka menyerah dan mendekati korban lain di belakang ku. “mbak tiket jakarta dua” sambil menyodorkan sejumlah uang dari saku celana. Dua tiket untuk ibu dan bapakku, memang bapak ikut ke jogja, bapak lebih sabar dan pendiam dibandingkan ibu. Mungkin sifatnya banyak menurun pada ku. Tiket sudah di tangan, langsung ku pelintir gas motor meninggalkan stasiun itu. Sedikit bergaya ku ku mainkan rem serta membanting motor kekanan dan kekiri. Sebentar saja aku sampai di rumah keluarga ibu tak jauh dari stasiun. Di rumah itu tinggal semua saudara ibu walaupun ukurannya sangat kecil. Sebagian dindingnya masih dari kayu yang berjamur terkena hujan dan panas. Turun dari motor dan bergegas ke pintu. “assalammualaikum”. “waalaikumussalam” suara terdengar dari dalam. Ku lihat ibu, mbah dan bude sedang berkumpul di ruang tamu. “dapat tiketnya mas?” tanya ibuku, “dapat bu” jawab ku sambil mengeluarkan karcis dari saku celana ku, ibuku meraih karcis tersebut dengan tangannya yang penuh keriput. Saat itu jam menunjukan pukul 3 sore. Serentak suasana pecah, semua mulai sibuk menyiapkan keberangkatan ibu ke jakarta. Kereta berangkat pukul 5 sore berarti sekitar 2 jam lagi ibu dan bapak harus ada di stasiun. Sekejap mata semua persiapan selesai dan saatnya perpisahan. Aku mengangkat tas besar ke atas motor, kutaruh di depan, di antara kedua kakiku. Ibu menyusul di belakang punggungku. Tangannya dikalaungkan pada pinggangku. Om berboncengan dengan bapak dan sudah melaju di depan. Sampai di satasiun sedikit tergesa, berjalan ke gerbong yang tertulis di tiket. Om hanya mengantar sampai gerbang dan langsung pulang karena ada keperluan. Akhirnya ketemu juga tempat duduk, no-nya seperi yang tertera di tiket. Tas ku lemparkan ke atas tempat menaruh barang. Ibu dan bapak duduk berdampingan, aku pun duduk di hadapan mereka. Ku alihkan pandangan kejendela dan menembus keluar. Hari sudah teramat senja, setiap benda memerah kekuningan terkena bias mentari yang mulai tengelam. “mas bagaimana kuliahnya ?” ibuku tiba-tiba bicara. Akhirnya. Beberapa kali pertemuan dengan ibu serta ayah kejadian itu terulang dengan pertanyaan yang sama. Pandangan mereka membuat aku tertunduk, suasana hening, waktu seperti berhenti mendadak, kepalaku tiba-tiba berat seperti di jatuhi benda yang beratnya puluhan kilo. Setelah sebuah tarikan nafas panjang yang dalam ku beranikan mengangkat kepala serta menatap mereka walau perih mata ini. bibirku berucap pelan : “mungkin beberapa bulan lagi sudah selesai, bu”. Bapak dan ibu saling berpandangan dan membalas ucapanku dengan senyum. Saat itu juga suara lokomotif keras terdengar bertanda kereta akan berangkat. Aku meraih tangan mereka, menciumnya dan mengucap kata perpisahan. Kereta sudah mulai bergerak, aku berlari ke pintu untuk turun. Ku lihat kedua orang tuaku melambaikan tangan, aku membalas sambil berdiri memandangi kereta yang bergerak menjauh. Pertanyaan ibu tadi masih terngiang di telingaku, bergema berulang-ulang dikepala, hanya pertannyaan itu yang ada bahkan ku tak ingat jawaban yang ku berikan tadi. Kereta yang membawa orang tuaku sudah tak terlihat lagi. Tanpa sadar ku masih berdiri di stasiun di kota jogja yang mulai gelap dan sepi, sendiri memandang ujung rel dengan pertanyaan ibu yang masih menggema di kepala.

3 komentar:

  1. mana lanjutan cerpennya...baguis ko...penasaran nie

    BalasHapus
  2. terus berkarya brow....
    n smangat..

    jd pengikut juga ya.. hahah

    BalasHapus

TULIS DONG

Pengikut